Senin, 25 Oktober 2010

a

Mengambang aroma wangi
sabun mandi. Kran
kuhidupkan, mendesis deras
air memenuhi bathtub
tempatku berbaring. Sebatang
Marlboro Menthol di bibir,
klenting bunyi tutup Zippo,
mengeluarkan api
menempelkan bara. Kuhisap
dalam-dalam, kuhembuskan,
uh... lepas. Di kamar mandi
ini, kutuliskan cerita dalam
kepalaku untukmu, untuk
kalian, siapa saja yang mau
membaca cerita ini. Mungkin
kacau balau tak beraturan,
tapi lumayan ‘kan buat
mengisi waktu luang kalian?
Cerita dalam kepalaku ini
akan kuberi judul : sudah
lama aku ingin membunuhnya.
Bagaimana? Layakkah ia
menjadi sebuah judul? Layak?
Kalau begitu baiklah, segera
kuceritakan.
Sudah lama aku ingin
membunuhnya. Ya,
membunuhnya! Waktu
pertama kali ia datang
padaku, mengatakan cintanya
itu aku langsung ingin
membunuhnya. Muak dan jijik
kuusir dia dengan makian.
Bagaimana tidak? Ia datang
padaku, menawarkan cintanya
sementara aku laki-laki
normal, yang mencintai
kekasihku, perempuan.
Sedang dia, laki-laki, berjenis
kelamin sama denganku.
Huek!!! Aku muntah.Ia tidak
pernah menyerah. Suara
lembutnya entah dibuat-buat
atau memang seperti itu,
terus-terusan mendesah di
handphoneku kapan pun. Pagi,
siang, malam- pagi, siang,
malam. Pagi lagi, siang lagi,
malam lagi. Ah, aku muntah
lagi. Huek!.
Juga, selalu smsnya: kmu
begitu mirip dgn kekasihku yg
dulu. aku ingin memilikimu.
Diulang-ulang, terus-terusan
pesan singkat menjijikkan itu.
Aku tidak habis pikir, sudah
beberapa kali kuganti nomor
handphone-ku, ia selalu bisa
menghubungiku. Bagaimana
bisa? Entahlah! Bahkan, ia
berani melakukan lebih jauh
lagi. Ceritanya beberapa
waktu lalu. Malam itu, karena
lelah, aku langsung masuk ke
kamar tidur, bermaksud
berbaring di atas ranjang.
Betapa terkejutnya aku
sehabis menyalakan lampu.
Dia sudah berbaring di sana,
tanpa busana pula.
“Surprise!!!Welcome home,
Honey.” Ia menyambutku
dengan lagak mesra, seolah
sepasang suami istri tengah
dimabuk asmara. Tak hanya
itu, ia mengangkat gelas
anggurnya sambil memejam-
mejamkan mata, lantas
menghabiskan isi dalam gelas
itu dan kemudian melangkah
ke arahku.
“Aku tahu, kamu pura-pura
tidak suka. Padahal....” Ia
mendekatiku berjalan
perlahan, layaknya
peragawati. Tak buang-buang
waktu lagi, aku berembus,
meninggalkannya di dalam
rumahku. Sejak kejadian
itulah aku tidak pernah lagi
merasa aman tinggal di
rumahku sendiri. Jadinya, aku
acapkali menumpang
berpindah-pindah di rumah
teman-temanku.
“Laporkan saja ke polisi”,
saran seorang teman pada
suatu siang.
“Ah, malu. Masa ngurusin
bencong kayak gitu aja pakai
lapor polisi segala. ”
“Hati-hati, Bob. Entar dia
ngajak kamu main pedang-
pedangan lho, ha...ha...ha !”
ejek temanku yang satunya.
Huek!Huek! Aku muntah-
muntah lagi.
Hari-hari berikutnya, lelaki
cantik itu mengikutiku dengan
cintanya tidak mengenal
waktu. Tidak pernah
menyerah, tidak pernah
kalah. Sebenarnya, aku tidak
pernah berani memikirkan
kalau aku sampai bisa jatuh
ke dalam cintanya. Sungguh.
Tapi ada suatu kejadian yang
kemudian menjebakku masuk
ke dalam perangkap
permainan cinta laki-laki itu.
Di suatu pagi, di kamar Hotel
Men Dreams, aku tiba-tiba
sudah berada dalam
pelukannya. Dia telah
memperkosaku sepanjang
malam. Malam itu dalam
keadaan mabuk berat aku
kira hanya ada seorang gadis
bersamaku, ternyata si laki-
laki jahanam ini juga ada di
sana. Samar aku ingat,
semalam si gadis yang
mengajakku berkenalan di
kafe itu sempat memberiku
segelas cairan tapi bukan bir,
sejenis minuman langsung
membuat kepalaku berat.
Dalam keadaan seperti
bermimpi, badanku telungkup
terasa ditindih. Paginya, aku
terbangun betapa marahnya
aku ketika tahu dia di
sampingku, memelukku.
“ Jahanam!!!”. Kuberi dia
makian disertai pukulan pada
hidungnya hingga ia menangis
berdarah-darah: ”Aku cinta
kamu. Aku sayang kamu.
Pukullah aku sesukamu. ”
“Sialan!!!” Kusambar jins dan
kemejaku, bergegas
meninggalkan kamar itu.
Akhirnya, aku tahu gadis
semalam membuatku mabuk
berat itu suruhannya. Sial …!
Lelaki itu tak pernah
menyerah. Ia terus
mengincarku, ingin
memperkosaku. Begitulah, dia
telah memperkosaku dan
masih ingin memperkosaku.
Tapi, benarkah dia telah
memperkosaku? Bukankah
korban perkosaan, merasa
jijik dan terus-terusan
membayangkan peristiwa itu
sebagai siksaan. Tapi
mengapa ketika mengingat
peristiwa setengah sadar itu
aku tidak merasa jijik.
Mengapa aku mendadak
menikmatinya? Aku kan bukan
gay? Aku normal?
Handphoneku tiba-tiba
bergetar, sebuah pesan
singkat masuk : biarpun kau
sdh memukulku, tdk ada sakit
yg ku rasa. aku menikmatinya.
datanglah padaku, syng.
Sialan,-entah bagimana- ibu
jariku menekan huruf-huruf
membentuk tanya : dimana? di
layar handphoneku. Dia
jawab : hotel men dreams kmr
13. Pada bagian ini, mungkin
kalian bertanya mengapa aku
menanyakan bertemu dimana.
Kumohon, jangan tanyakan itu
Kawan, sampai saat inipun
aku tak tahu mengapa. Tiba-
tiba saja aku ingin sekali
bertemu. Waktu itu, aku
segera mendatanginya
bercampur aduk perasaan
benci, amarah, rindu, melebur
nafsu. Malam itu, pertama
kalinya sebagai laki-laki aku
mau melakukan hubungan
terkutuk itu sepenuh-
penuhnya keinginan, tanpa
paksaan. Permainan pertama
usai, dia menangis berbisik
lembut di telingaku :
“Terima kasih, sayang. Sejak
pertama melihat kamu di kafe
itu, aku yakin kamu
reinkarnasi kekasihku dulu,
aku tahu kamu kembali ke
pelukanku. Terima kasih. ”
Penuh nafsu ia memelukku
dalam pesona gerak
perempuan haus permainan
cinta. Huek? Aku tidak muntah
lagi. Hingga kini, terbiasa.
Tidak menjijikan lagi. Normal
dan aku menikmatinya.
Begitu cepat hingga lama
kelamaan tumbuh rasa cinta
aneh –sekali lagi, entah dari
mana datangnya- dalam diriku
untuknya, menghapus
keinginanku ,
membunuhnya.Akhirnya,
seperti aku harapkan,
kekasihku perempuan pergi
meninggalkan aku.
Dan, semuanya berlalu, tak
pernah kekal, begitu juga
cinta. Bisa jadi ini malam
penghabisan, sebab cintaku
telah hilang, berubah menjadi
dendam. Ada aroma maut
menusuk-nusuk, mendesak-
desak, berebut aroma malam
masuk ke hidungku,
menggedor-gedor kepalaku,
memunculkan kembali naluri
purba pada manusia:
membunuh, naluri yang
dulunya pernah kutujukan
padanya. Ya, aku kembali
ingin membunuhnya. Seperti
dulu, seperti dulu...
Kau bertanya, mengapa aku
ingin membunuhnya kali ini?
Baik, kuberitahu padamu aku
ingin membunuhnya karena
dia berkhianat. Aku lihat,
malam ini, dia berpelukan
mesra dengan laki-laki lain di
kafe. Mereka berciuman di
taman dalam siraman hujan,
melintasi jalan, bergandengan
mesra hingga memasuki
kamar di Hotel Men Dreams.
Aku bergegas, mengikuti
hingga tiba di sini, berbohong
dengan teriakan sebagai room
boy.
Seperti menjelang mati, dia
tidak mampu berkata-kata
lagi ketika melihat aku yang
berada di sebalik pintu. Cepat,
ia berusaha menutup pintu itu.
Sekuat-kuatnya kutahan, aku
masuk dan dia menangis
dengan tubuh bergetar
ketakutan. Sementara si laki-
laki kekasih barunya berlari
terbirit-birit, keluar dari
kamar. Melihat ketakutannya,
dengan senyuman aku
menenangkan dia yang masih
menampakkan wajah pucat
seperti mayat. Entah apa
ekspresi senyumku.
Pernahkah engkau melihat
senyum manis mengandung
amarah milik sesosok
malaikat pencabut nyawa?
Mungkin, begitulah senyumku
malam ini.
“Aku tidak akan
mengganggumu, aku ingin
mengatakan aku sangat rindu
padamu ingin bercinta. Cepat
buka celanamu. ”
Ia menurut saja, melepas
celananya yang tersisa. Pisau
lipat yang, kusembunyikan di
saku celana, nantinya akan
kugunakan memotong anunya.
“Tok...Tok...Tok...”
Sial!, terpaksa kuhentikan
cerita ini, Kawan. Ada
ketukan pintu kamar mandi
ini. Mungkin itu room boy atau
polisi menemukan mayatnya
terkapar dalam simbahan
darah di atas ranjang dan
anunya yang tercecer di
bawah ranjang. Atau
mungkin,...ah, tidak mungkin.
Tapi, entahlah, aku buka saja,
memastikan siapa. Tapi,
jangan-jangan, dia mengetuk
pintu itu.***