Selasa, 30 Maret 2010

Atheist in Foolland

Saya memang atheis, ato agnostik, pantheis, deis, kehois, raelian, dll... Malam ini gw saya bingung!  Mau nulis apa? Besok libur.... Hahaha. Ehem. Inilah cerita insting seorang atheis yang sedang berada di dunia wonderland.


Saat tiba di pekarangan istana, saya melihat seorang bapak tua yang berjenggot putih. Dia menghelakan nafas di ujung jemarinya, dan menjilati jari telunjuknya. Saya tidak tahu apa yang dia perbuat di sana.

"Apa yang bapak lakukan di sini?" tanya saya.

Dia menatapku sebentar. Tapi kemudian membalikkan badan dan berjalan ke arah hutan. Semakin lama langkahnya semakin cepat sampai dia sepenuhnya berlari.

Dia mengulurkan tangan lalu datanglah seekor ular berbisa yang mencakar langit. Langit berubah warna kemerahan dan menjatuhkan serangkaian kecoak. Lalu semuanya masuk ke dalam buku.

"Ular Basketoichmovks! Apa sebenarnya yang terjadi di sini?"

Ular itu hanya mendesis dan menjulur-julurkan lidahnya ke dalam gua-gua yang penuh dengan cahaya warna-warni pelangi. Pencapaian ke dalam angan-angan itu belum mencapai level khusus untuk pencarian iblis sejati. Iblis sejati hanya bisa ditemukan di dalam Tuhan Korpis. Setelah Ular Basketoichmovks menjual kulitnya, di dadanya tercantum "ЖЉΐŒ◊"yang perangainya menyebar ke dalam lekukan tubuh para penjahanam surga pohonawi.

"Pencetusan kemiliteran 1050 harus segera dilaksanakan hari ini juga!" bentak Ratu Malkisdenia. Tak ada gentar di sana, bagi ratu dan rakyat.

"Militer apa ratu?" saya mencoba menanyakan.

"Kau bilang militer apa??!!" Teriak ratu itu secara tersentak, lalu berdiri dengan segala tamak, berjalan dengan kaki terangkat penuh ke arah saya. "Sudah 50 tahun kau bekerja di sini, masih kau tanyakan lagi!"

"Tapi saya baru kali ini ke sini, ratu. Saya bahkan tidak tahu ini di mana, saya--"

"HAHAHAHA! Jangan membual di sini! Jika kau ingin memakai rumus Bellaximichio di sini, tidak bisa! Semua pasukan sudah memasang tameng Venk anti matahari.. Sekarang apa lagi yang kau buat Pangeran Doltaf??" Saya tidak tahu mengapa dia begitu sinis terhadap saya. Yang jelas saat dia mendekat dan mengayun-ayunkan kepalanya, saya tidak tahan mencium bau amonia yang menyengat dari tiap helai rambutnya. Rambutnya bahkan mengeluarkan asap berwanra hijau. "Pasukan!"

"Ya, Ma'am Ratu Terhormat Dari Kerajaan Mulia Architopedlajj Yang Cantik Dan Tidak Berambut Bau, Legendaris Terhormat Yang Tidak Perlu Mati Untuk Mendapat Penghormatan. Kami siap mendengarkan!" Jawab para bala tentara yang berlutut di sekeliling saya ini.

"Bagus. Untuk panggilan yang selanjutnya gunakan 'Kami Bodoh Dan Biadab'," sebelum mulutnya terkatup sepenuhnya, Ratu Malkisdenia membalikkan badannya. Dia berjalan melewati karpet biru yang terlentang kaku membelah ruangan. "Aku ingin kalian membuat Patung Ledakan Dahsyat itu sekarang. Kalian bisa membuatnya dengan beberapa batu legenda yang pernah disebutkan oleh para nenek moyang kita. Batu Nista atau Batu Mayat. Aku ingin kalian semua membuatnya selama 5 jam! Tidak kurang, tidak lebih! Faham??"

Ratu bodoh terus mengayunkan kepalanya, menyapu-nyapu rambutnya yang diikat tebal ke hadapanku, mengantar bau busuk itu tepat ke hidungku. Saya merasa seperti kulit saya kini juga bisa berfungsi sebagai indera penciuman. Saya tidak mungkin tahan lagi untuk menahan nafas. Jadi saya mendorong-dorong kepalanya dengan kepalan tangan saya dan dia menjerit, "ATATATATATAH!!" Lalu dia berbicara lagi. "Jawab," lalu saya mendorong-dorong wajahnya ke belakang lagi, "ATATATATATATATAH!!"

"Baik, Kami Bodoh Dan Biadab!" sentak para pasukan Kerajaan Architopedlajj ini, lantang.

"Sekarang, TATATA, bubaTATATATAr!!!!"

"Baik, Kami Bodoh Dan Biadab!" Para pasukan kini keluar dari ruangan istana lewat lubang di atas dengan papan yang diikatkan pada tali yang tersambung dengan katrol, meninggalkan saya dan Ratu Malkisdenia di sini. Sekarang saya menjadi kebingungan dengan semua ini. Saya bertanya pada ratu.

"Ratu, ada apa? Untuk apa Patung Ledakan Dahsyat itu?" bisikku. Tapi tak ada jawaban. "Ratu Bodoh?"

Saat aku berbalik, ratu sudah menghilang. Aku mondar mandir di dalam ruangan itu. Aku betul-betul bingung di sini! Membosankan. Aku elihat jam. Satu jam sudah berlalu. Lalu aku berniat keluar dari sini. Tapi tidak ada pintu. Di depan kursi takhta hanya ada sebuah lubang kecil sebesar lubang tikus. Aku mencoba berpikir bagaimana caranya keluar dari sini. Tiba-tiba aku melihat ada dua buah kotak kaca berwarna, hijau dan merah. Yang hijau berisi tikus, dan yang merah berisi bayi tikus. Di depan kotak itu terletak sebuah kertas yang berisi pesan "TIDAK PERLU BIJAK → o". Lalu saya menjelajahi tempat di mana anak panah tersebut menunjuk. Itu adalah mesin penggiling.

"Masukkanlah aku ke dalam sana, tapi jangan masukkan anakku!" Aku terkejut. Baru saja tikus tersebut berseru...

"Bu tikus, jadi kau ingin aku memasukkanmu ke dalam sana?" tanyaku, enggan.

"Kamu tidak dengar ya! Cepat, cepat! Sekarang saja!" Makhluk sebodoh apa ini, dia mendesakku untuk membunuhnya?

"Baiklah kalau begitu, tikus!" Aku meraih pisau yang ada di samping kotak. Lalu aku menggunting kotak plastik itu dan mengeluarkan ibu tikus. "Maafkan aku, tikus." Lalu aku melemparnya ke dalam mesin penggiling dan dia mati.

Hening. Tidak ada yang terjadi! Aku mengamati anak tikus di dalam kotak merah tadi sudah bertumbuh menjadi dewasa. Dan kotak berubah warna menjadi hijau. Aku semakin bingung! Apakah mungkin pesan "TIDAK PERLU BIJAK" itu maksudnya aku harus menggiling kedua tikus itu? Aku mencoba memasukkan juga tikus itu ke dalam mesin penggiling. Tapi sama saja, tidak ada yang terjadi lagi...

Aku duduk sebentar di kursi takhta dengan raut wajah kecewa. Dua tikus tadi mati dengan sia-sia. Aku kembali mengamati meja tadi. Aku membaca lagi tulisan yang tertera di atas kertas itu "TIDAK PERLU BIJAK → o". Lalu menyeberangkan mataku ke arah anak panah tersebut menunjuk. Setelah kuperhatikan baik-baik, di sana ada sebuah lubang kecil yang di dalamnya terdapat sejenis tombol. Tapi jari-jariku tidak dapat meraihnya. Aku mulai berpikir tombol apa ini dan bagaimana cara menekannya.

Gunting! Aku meraih gunting yang tadi kugunakan untuk membuka kotak tikus. Kali ini aku memakainya untuk menekan tombol yang ada di dalam lubang kecil di atas meja itu. Ya, seharusnya aku tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan untuk memasukkan tikus-tikus tadi ke mesin penggiling itu, karena maksud dari  "→ o" pasti menusuk lubang kecil ini dengan gunting!

Betul saja, saat aku berhasil menekan tombol itu, tiba-tiba istana ini bergetar. Perlahan-lahan istana ini menciut, semakin kecil, seperti mau membungkus tubuhku. Bertambah kecil, dan kecil, sampai akhirnya tidak dapat lagi menampung tubuhku dan istana itu hancur berkeping-keping. Sekarang aku bebas! Tapi ada penyesalan. Seandainya tadi aku lebih bijak untuk membiarkan kedua tikus itu keluar melalui lubang tikus, mereka tidak perlu kubunuh. Seandainya aku lebih berusaha berpikir dan tidak terburu-buru... Dan seharusnya aku tidak memperdulikan pesan untuk "TIDAK PERLU BIJAK" itu!

Tiba-tiba seekor kucing muncul di depanku. "Aku tahu kau sudah membunuh temanku tadi..." katanya dengan senyum lebar menodai wajahnya.

"Maaf." jawabku penuh penyesalan, walau tidak seperti kedengarannya.

"Tapi sekarang kami membutuhkan bantuanmu." Jawabnya diiringi senyuman lebar kedua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar